05/04/11

Fenomena Pendidikan di Indonesia.

Maria Siagian (10-049).
Christian YWS (10-099).
Sri Rizki Amanda (10-017).

Akhir-akhir ini rubrik Humaniora Kompas memang banyak menyoroti tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Diawali dengan pemberitaan mengenai ide cemerlang dari salah seorang ketua RW di salah satu desa di Sala Tiga yang dengan kreatifnya menggagas sebuah sekolah alternatif untuk siswa SLTP dengan konsep sekolah terbukanya sampai pada kegilaan mungkin lebih tepat jika disebut kebodohan dari pemerintah mengenai rancangan sistem jalur pendidikan yang baru.

Dalam sistem pendidikan yang baru ini pemerintah akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.





Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol memang. Aku sampai tidak habis pikir bisa-bisanya pendidikan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat fianansial dari peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk kebodohan yang lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang nota bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?

Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?

Menurutku, pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.

Lantas bagai mana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau dibawa ke mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah menjadi barang dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa selembar sertifikat dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan apakah pendidikan hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja?


Permasalahannya ialah: pendidikan seperti dikotak-kotak seakan2 sekolah hanya untuk orang-orang yang mapan secara akademik dan juga finansial. Bahkan diperparah dengan adanya pemisahan jalur yaitu jalur standar (secara akademik dan finasial kurang bahkan tidak mampu) dan jalur mandiri (secara akademik dan finansial mapan).

Pembahasan:

1.       Berdasarkan teori psikologi pendidikan.
Kita dapat membahas kasus pada artikel di atas dengan menggunakan teori dari Paulo Freire yang menyatakan bahwa tujuan manusia ialah menjadi lebih humanis dengan suatu proses yang dinamakan belajar dan perlunya proses konsientisasi atau sistem yang menyadarkan bahwa sistem pendidikan yang menindas menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi.
Kasus di atas sepertinya menyatakan secara tersirat bahwa belajar hanya terbatas pada kemampuan finansial saja atu dengan kata lain sistem pendidikan yang diberlakukan adalah yang berfokus pada kemampuan finansial saja. Akibatnya ialah pendidikan hanya menjadikan siswa beradaptasi dengan lingkungannya bukan mengubah realitas yang ada sehingga tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak pernah terwujud.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan ialah:
a.       Menghasilkan orang-orang yang berhubungan dengan pendidikan, misalnya guru, dinas pendidikan yang mempu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan realitas kehidupan (fasilitator, motivator, administrator).
b.      Menjadikan siswa menjadi problem solver.
c.       Menjadikan keunikan budaya sekitar sekolah, misalnya bahasa, tata krama sebagai bahan pertimbangan dalam problem solving.

2.       Berdasarkan teori pendidikan keluarga.
NEL (2003) menyatakan bahwa pembelajaran yang baik ialah dengan cara mengefektifkan pembelajaran yang bersifat insidentil dari pengalaman sehari-hari daripada mengajar anak dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan.


NEL juga menyarankan agar orangtua:
a.       Menanamkan rasa pentingnya meraih kesuksesan pada si anak.
b.      Mengembangkan rasa ingi tahu yang tinggi pada si anak.
c.       Menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi.
d.      Mengembangkan identitas diri positif yang kuat.
e.      Mengembangkan rasa toleransi terhadap sesama.
Essa (2003) juga menyatakan bahwa peran orangtua adalah bagaimana orangtua memfasilitasi, menyokong dan membantu berkembang sesuai dengan kebutuhan anak, bukan kebutuhan orangtua. Pendidikan yang paling kondusif bagi si anak adalah pembelajaran yang menyenangkan bagi si anak.
Froebel dalam Brewel (2007) menyataakan bahwa dasar pembelajaran anak adalah bagaimana menjembatani pembelajran di rumah dan si sekolah.
Orangtua juga berkewajiban untuk memonitor perkembangan anak melalui komunikasi dengan sekolah.

3.       Berdasarkan teori bimbingan sekolah.
Adanya tujuan yang harus dikejar oleh sekolah yang bersangkutan, jadi bukan hanya pengkotakan berdasarkan finansial yang dilihat, tapi apa yang menjadi tujuan suatu instansi pendidikan tersebut. Tujuan tersebut juga harus memperhatikan keterbatasa waktu, sumber daya, kebutuhan dan kesempatan masyarakat, kebutuhan siswa, sumber daya beasiswa, nilai demokrasi, dan kondisi belajar yang efektif. Sasaran-sasaran instansi pendidikan harus mengarah pada instruksional, dukungan, dan menajemen. Mendukung tujuan sebagai layanan yang akan diberikan. Pengelolaan dan tujuan sebagai fungsi manajemen seperti perencanaan, operasi, dan evaluasi.

0 comments:

Posting Komentar